Jakarta (WWT) - Awalnya saya bersimpati dengan Dandhy Dwi Laksono, SJW yang berpengalaman dalam dunia jurnalistik. Ketika ia ditangkap polisi, saya jatuh iba. Siapapun yang ada di belakang Dandhy tidak penting. Karena sebagai seorang jurnalis, tentu ia berhak mengabarkan kejadian.
Meski tidak berada dalam satu perahu, sikap kritis harus dihormati. Dengan syarat, ia harus tepat.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) langsung memberikan pembelaan dengan nada mengancam. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Termasuk yang bebeda kelompok darinya. Akhmad Sahal misalnya. Kemanusiaan membuat mereka tergerak untuk membelanya.
Tagar Save Dandhy kemudian lahir. Ketika diciduk itu, Dandhy tiba-tiba jadi pahlawan kecil. Karena sebagian besar orang hanya melihat kebenaran versi Dandhy. Membuat kesimpulan dari tweetnya, bahwa aparat polisi menganiaya mahasiswa di Papua.
Dandhy diketahui telah menuliskan tweet yang berisi informasi kerusuhan di Jayapura dan Wamena, Papua pada 23 September 2019.
Ada dua foto yang diberi keterangan, tentang seorang mahasiswa bersimbah darah dan seorang siswa sekolah terkapar di tanah.
Dandhy juga menulis menggunakan bahasa provokatif dengan menyertakan diksi "diangkut" yang menggambarkan sikap aparat terhadap para mahasiswa. Seolah-olah ingin menunjukkan kesan opresif di sana.
Sebab tweet itu, polisi segera bereaksi dan menangkap Dandhy. Orang-orang menganggap hal itu politis. Mereka menilai tindakan polisi berlebihan. Karena Dandhy dianggap hanya mengabarkan kejadian. Hal wajar yang semestinya diberi kebebasan.
Belakangan ada seorang netizen dengan akun Facebook Fritz Haryadi menceritakan sebaliknya. Fritz jelas lebih tahu situasi di Papua, karena merupakan sekretaris Lembaga Infokom NU dan ketua Lembaga Persatuan Guru NU Papua.
Orang ini, selain aktif di organisasi NU, di Papua, dia juga tinggal di Jayapura, Papua. Pendek kata, ia lebih tahu dengan detil peristiwa di Papua dan bisa dipertanggung-jawabkan informasinya.
Fritz membantah tweet Dandhy dan menceritakan kronologi yang sebenarnya. Bahwa posko yang dibangun di sana itu adalah salah satu faksi gerakan papua merdeka bernama ULMWP (United Liberation Movement for West Papua pimpinan Benny Wenda.
Nama itu adalah sosok pelarian politik yang mendapatkan suaka di London, Inggris sana. Salah satu musuh negara yang sering membuat kabar bohong tentang Indonesia.
Fritz mengoreksi diksi "diangkut" yang dipakai Dandhy. Karena faktanya, aparat justru mengantar mahasiswa itu ke asrama mereka di Wamena dan Sentani secara gratis.
Namun nahas, setibanya di Waena Expo, Jayapura, para demonstran menipu aparat dengan izin minta demo. Dan disitulah mereka membacok dan mengeroyok aparat itu sampai mati.
Dandhy sengaja tidak menyebutkan siapa yang mati. Agar muncul provokasi, mahasiswa itu yang dibunuh.
Kemudian soal siswa SMA yang terkapar, lagi-lagi Dandhy menyebar provokasi. Ternyata menurut Fritz, kebanyakan korban jiwa di sana itu adalah warga luar Papua yang dibantai seperti hewan. Dan seorang dokter telah dibakar hidup-hidup. Sedangkan sumber kerusuhan itu adalah hoax.
Secara sitematis anak-anak SMA itu membakar 735 bangunan. Ada 33 mayat, 224 mobil,150 motor. Mustahil itu tidak digerakkan. Dan mustahil pula aparat diam saja melihat kelakuan mereka.
Dengan jelas terlihat, seorang jurnalis anggota AJI seperti Dandhy sengaja menyebarkan hoax. Tangannya ikut berlumuran darah orang-orang non-papua yang jadi korban kerusuhan.
Dan ketika ia ditangkap karena provokasinya itu, orang-orang menuduh aparat berlebihan. Kemudian ia berpidato lagaknya seorang pahlawan. Membela proxy asing lainnya bernama Veronika Koman.
Dandhy, tak lebih dari seorang bajingan yang memanfaatkan situasi. Menjual kemanusiaan. Membela warga Papua secara sepihak. Padahal 33 mayat non-papua yang kebanyakan terbakar itu juga orang-orang Indonesia. Mereka hanya orang biasa yang jadi korban orang-orang jahat seperti Dandhy.
Di sini, AJI sama sampahnya dengan Dandhy. Mereka memberikan pembelaan membabi-buta. Padahal mestinya mereka berpihak pada kebenaran. Mencari fakta sebenarnya di lapangan, lalu meminta Dandhy minta maaf. AJI hanya menjadi corong SJW kapiran yang politis itu.
Upaya provokasi Dandhy itu berbahaya. Tipikal orang-orang yang senang melihat orang lain menderita. Lalu menjual penderitaan itu dalam bentuk berita. Di depan khalayak kemudian bertingkah sebagai pejuang kemanusiaan. Rendah sekali kalian ini.
Atas nama korban di Papua yang tidak dibela Dandhy, sudah sepantasnya orang seperti dirinya itu ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Saya menyesal telah merasa iba kepadanya, begitu tahu fakta yang sebenarnya.
Dandhy, stop sebar hoax!
Ditulis oleh: Kajitow Elkayeni
Sumber : Sate Jawa
Foto : Istimewa
Terimakasih Sudah Membaca & Membagikan Warta WA Bogor - Bogor WhatsApp News