Mojokerto (PerpustakaanTanahImpian) - Mengalahkan sekaligus menghancurkan sebuah bangsa dengan tanpa harus berperang, adalah dengan cara menyesatkan sejarah bangsa, yang menjadi musuhnya.
Pertanyaannya, apakah Arab melihat Indonesia sebagai musuh, pertanyaan yang sama dapat ditanyakan, apakah negara-negara lain juga melihat Indonesia sebagai musuh.
Jawabannya, bukan persoalan musuh atau bukan musuh, tapi mereka ingin menguasai SDA kita, untuk kemakmuran bangsanya. Sehingga dengan segala macam cara (machiavellian), sampai beraninya mereka mengklaim bahwa mereka adalah "Pembela Tuhan" - sementara kalau mereka sembahyang, masih meminta untuk dilindungi oleh Tuhan.
Sebelum membaca "Brawijaya V Masuk Islam", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara
Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
Baca juga : Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji
Pertanyaannya, apakah Arab melihat Indonesia sebagai musuh, pertanyaan yang sama dapat ditanyakan, apakah negara-negara lain juga melihat Indonesia sebagai musuh.
Jawabannya, bukan persoalan musuh atau bukan musuh, tapi mereka ingin menguasai SDA kita, untuk kemakmuran bangsanya. Sehingga dengan segala macam cara (machiavellian), sampai beraninya mereka mengklaim bahwa mereka adalah "Pembela Tuhan" - sementara kalau mereka sembahyang, masih meminta untuk dilindungi oleh Tuhan.
Sebelum membaca "Brawijaya V Masuk Islam", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara
Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
- Pertama, mereka mengaburkan, menyesesatkan, dan mengacaukan Sejarah Nusantara
- Kedua, mereka memutuskan pengetahuan mengenai Leluhur Kita
- Ketiga, mereka mengarang Sejarah Baru
Baca juga : Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji
Rekayasa Cerita Brawijawa V masuk Islam
- Versi 1 - Seolah berdasarkan "Babad Tanah Jawi" bahwa, Prabu Brawijaya V telah memeluk agama Islam, sehingga di akhir kejayaan, Majapahit menjadi kerajaan Islam. Dengan merekrontruksi fragmen : Prabu Brawijaya V menyatakan akan memeluk agama Islam, pada saat kedatangan dua tamu besar, Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Raja Cermain di Istana Majapahit saat masih berkuasa.
- Versi 2 - Syekh Maulana Malik Ibrahim (ulama asal Turki) dan Raja Cermain datang untuk mengenalkan Agama Islam kepadanya, dalam rombongan itu terdapat Dewi Sari, putri Raja Cermain dari Campa yang cantik jelita. Setelah mendengar penjelasan kedua tamunya, Brawijaya V bersedia menjadi mualaf asalkan bisa menikahi Dewi Sari.
- Versi 3 - Syekh Maulana Malik Ibrahim menasihati Raja Majapahit tersebut agar mengurungkan niatnya menjadi pemeluk Islam, jika hanya karena untuk dapat mengawini Dewi Sari. Pada akhirnya Syekh Maulana Malik Ibrahim bersama rombongan ulama asal Turki tersebut pamit pergi meninggalkan Majapahit tanpa membawa hasil.
- Versi 4 - Upaya untuk mengislamkan Prabu Brawijaya V ini pun juga dilakukan keluarganya sendiri mulai dari permaisurinya, Ratu Dewi Dwarawati yang merupakan seorang muslimah hingga anak-anaknya sendiri dan para selirnya yang beragama Islam.
- Versi 5 - Seolah berdasarkan "Serat Darmogandul" Brawijaya V di akhir kekuasaannya diislamkan oleh Sunan Kalijaga. Setelah kepergian Sabda Palon dan Naya Genggong, maka Prabu Brawijaya V di akhir kekuasaannya diislamkan oleh Sunan Kalijaga.
Sementara Sabda Palon dan Naya Genggong bukanlah sosok manusia, olehkarenanya orang-orang yang mengerti, mengatakan bahwa merka berdua hanya sebuah gelar, bukan sosok manusia an sich.. Jadi mana mungkin mati :)
- Ratu Dewi Dwarawati Sang Permaisuri yang mempunyai anak Ratu Ayu Handayaningrat, Dewi Chandrawati, Raden Jaka Peteng, Raden Gugur (Sunan Lawu Argopura), dan Panembahan Brawijaya Bondhan Surati selalu berulang kali mengajak Brawijaya V untuk memeluk Islam tapi selalu gagal.
- Raden Rahmat alias Sunan Ampel (suami Dewi Chandrawati), menantunya, juga tidak mampu meluluhkan ketegaran Brawijaya V untuk mempertahankan agama lamanya.
- Syekh Jamaluddin Jumadil Kubra, seorang Ulama Besar dari Bukhara (Rusia Selatan), juga pernah mencoba berdakwah kepada sang Raja, namun tidak berhasil.
- Raden Arya Damar (Adipati di Palembang), putra mahkotanya sendiri yang juga gagal mengislamkan Brawijaya V.
- Pangeran Jimbun alias Raden Patah anak Brawijaya V dari selir Dewi Kian yang kerap berdakwah kepada kanjeng Ramanya, tetapi selalu mengalami kegagalan.
Ketegaran Prabu Brawijaya ditenggarai karena saktinya dua penasihatnya, yakni Sabda Palon dan Naya Genggong yang selalu mendampinginya, dan mencegahnya untuk masuk Islam.
Catatan :
- Sunan Kalijaga adalah menantu Sunan Ampel, menikah dengan Dewi Khafshah (putri Sunan Ampel dengan Dewi Chandrawati). Olehkarenannya Sunan Kalijaga masih cucu Sang Prabu Brawijaya V.
Catatan Penting :
- Leluhur kita yang Sengkretis dan Berbudi Luhur, kalahnya hanya oleh tipu muslihat kaum munafik.
- Agar saatnya Sabdo Palon dan Naya Genggong menagih janji, kita-kita anak cucu tidak lagi dapat tertipu oleh muslihat kaum munafik tersebut yang berbaju agama.
- Tidak pernah diceritakan dalam sejarah, saat kita di Sekolah dahulu, bahwa masuknya Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh luar biasa kasarnya.
- Agar mereka dapat menyebut Majapahit sebagai Kesultanan, yang pada kenyataannya hingga kini, Majapahit tetap sebagai Kerajaan, dan bukan Kesultanan.
- Jika mereka berhasil mengatakan bahwa Majapahit adalah Kesultanan, maka mereka akan mengatakan bahwa perjuangan yang ada di Nusantara adalah perjuangan Islam, jadi tidak salah kalau mereka akan mendorong diberlakuannya "Piagam Jakarta"
- Pada kenyataannya hingga kini, masih banyak Kesultanan Besar, yang sebenarnya mereka hanya berpura-pura sebagai kesultanan. Karena masuknya Islam saat itu begitu kejamnya.
Sumber : Dari berbagai sumber dan diskusi dengan anak cucu Brawijaya V
Foto : Istimewa
Foto : Istimewa
Baca juga : Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji
Sebuah Ilustrasi |
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Apakah sudah saatnya Sabdo Palon Menagih Janji?
Sabdo Palon yang dikenal sebagai penasihat spiritual di Tanah Jawa, dan juga sebagai pembimbing Jawa sejati, dijelmakan dalam banyak wadag atau raga yang berbeda di setiap generasi.
Sementara tokoh lain yang sering dikaitkan dengan Sabdo Palon adalah Naya Genggong, yang berduet menjadi penuntun gaib yang mawujud. Sehingga tidak mengherankan jika mereka berdua sering hadir mengiringi Raja-Raja Jawa di masa lalu.
Kiranya kita sepakat bahwa Sabdo Palon dan Naya Genggong bukanlah sekedar sosok, namun merupakan gelar, olehkarenanya kami mengilustrasikan dari prilaku pewayangan.
Sebelum membaca "Sabdo Palon Nagih Janji", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara
Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
Kiranya kita sepakat bahwa Sabdo Palon dan Naya Genggong bukanlah sekedar sosok, namun merupakan gelar, olehkarenanya kami mengilustrasikan dari prilaku pewayangan.
Sebelum membaca "Sabdo Palon Nagih Janji", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara
Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
- Pertama, mereka mengaburkan, menyesesatkan, dan mengacaukan Sejarah Nusantara
- Kedua, mereka memutuskan pengetahuan mengenai Leluhur Kita
- Ketiga, mereka mengarang Sejarah Baru
Sabdo Palon dan Naya Genggong merupakan gelar yang diberikan sesuai dengan karakter tugas yang diemban masing-masing, yakni :
- Sabdo Palon, "sabdo" artinya seseorang yang memberikan masukan / ajaran, dan "palon" artinya kebenaran yang bergema di Alam Semesta. Jadi "Sabdo Palon" bermakna sebagai seorang abdi yang berani menyuarakan kebenaran kepada Raja, serta berani menanggung akibatnya.
- Naya Genggong, "naya" artinya nayaka / abdi raja, dan "genggong" artinya mengulang-ulang suara. Jadi "Naya Genggong" bermakna sebagai seorang abdi yang berani mengingatkan Raja secara berulang-ulang mengenai kebenaran, dan berani menanggung akibatnya.
Ada yang menyebutkan, Sabdo Palon dan Naya Genggong mulai dikenal pada masa kepemimpinan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (Ibu dari Hayam Wuruk), dan tetap setia sebagai penasihat spiritual hingga kepemimpinan Raja Brawijaya V.
Sebelumnya, Sabdo Palon dan Naya Genggong lebih dikenal dengan Sapu Angin dan Sapu Jagad.
Sabdo Palon banyak dikisahkan dalam Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, juga dikenal dengan Jangka Sabdo Palon, yang diyakini sebagai karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita.
Banyak pereka atau penterjemah pesan atau pemikiran Sabdo Palon yang sengaja mengarahkan hasil terjemahannya atau rekaannya untuk kepentingan golongan mereka. (EW) Oleh karenanya, tidak heran, golongan tersebut memiliki kepentingan untuk menyamarkan maksud yang sebenarnya, dan bahkan sengaja untuk menyesatkan.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Syogyanya Sabdo Palon meramalkan titik kehancuran Agama Penyembah 666 yang kebetulan ada di Nusantara, dan tidak menyebut secara eksplisit nama Agama yang dimaksud. Hal ini dikarenakan, Agama Penyembah 666 tidak an sich eksis di Nusantara sebagai sebuah Agama yang eksis sebagai sebuah Agama dengan ajaran Ke-Tuhanannya.
Titik Kehancuran Agama Penyembah 666, sekaligus menjadi titik bangkitnya kembali Agama Lokal dengan Kearifan Lokalnya.
Ramalan hancurnya Agama Penyembah 666 ini, sebenarnya juga diramalkan oleh Nabi-nya sendiri, bahwa Agama tersebut bukanlah sebuah Agama yang kekal, dan akan hancur pada waktunya.
Kalau kita peka melihat fenomena yang terjadi di sekitar kita, maka kita pun akan melihat, banyaknya Pemeluk Agama Penyembah 666 yang kini sudah kembali ke Agama awalnya.
Banyak pereka atau penterjemah pesan atau pemikiran Sabdo Palon yang sengaja mengarahkan hasil terjemahannya atau rekaannya untuk kepentingan golongan mereka. (EW) Oleh karenanya, tidak heran, golongan tersebut memiliki kepentingan untuk menyamarkan maksud yang sebenarnya, dan bahkan sengaja untuk menyesatkan.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Syogyanya Sabdo Palon meramalkan titik kehancuran Agama Penyembah 666 yang kebetulan ada di Nusantara, dan tidak menyebut secara eksplisit nama Agama yang dimaksud. Hal ini dikarenakan, Agama Penyembah 666 tidak an sich eksis di Nusantara sebagai sebuah Agama yang eksis sebagai sebuah Agama dengan ajaran Ke-Tuhanannya.
Titik Kehancuran Agama Penyembah 666, sekaligus menjadi titik bangkitnya kembali Agama Lokal dengan Kearifan Lokalnya.
Ramalan hancurnya Agama Penyembah 666 ini, sebenarnya juga diramalkan oleh Nabi-nya sendiri, bahwa Agama tersebut bukanlah sebuah Agama yang kekal, dan akan hancur pada waktunya.
Kalau kita peka melihat fenomena yang terjadi di sekitar kita, maka kita pun akan melihat, banyaknya Pemeluk Agama Penyembah 666 yang kini sudah kembali ke Agama awalnya.
Serat tersebut ditulis sebagai ramalan adanya kehancuran Penganut Agama Penyembah 666 itu dari dalam dirinya sendiri, yang berada di Nusantara, dalam jangka waktu 500 tahun + 4 zaman, terhitung mulai dari hilangnya pamor Kerajaan Majapahit.
Namun syair dalam Jangka Sabdo Palon banyak dipelintir oleh kelompok-kelompok kepentingan, atau Penyembah Agama Penyembah 666, sehingga mereka ingin lempar batu sembunyi tangan.
Dengan menyebutkan sebuah Agama tertentu secara eksplisit, yang sebenarnya bukan Agama tersebut yang dimaksud, maka ini sebenarnya justru untuk mengadu domba, antara penganut-penganut Agama-agama yang ada di Nusantara.
Selanjutnya kelompok Agama Penyembah 666, tidak ingin diketahui gerakannya, atau mereka justru ingin mengakselerasi kebodohan dari kelompok-kelompok Agama yang beraliraan PENGHAFAL, dan bukan PENG-KAJI.
Sementara penganut Agama Penyembah 666 ini, menyelubungi diri mereka di dalam sebuah Agama stereotip. Mereka ibarat Buah, yang kulit dan dalamnya berbeda warna.
Terdapat bait di penghujung akhir Serat Jangka Sabdo Palon,.Tuturan inilah yang dikenal sebagai "Sabdo Palon Nagih Janji". Dimana Sabdo Palon memberitahukan tanda-tanda sosial, dan tanda-tanda Alam yang akan muncul di zaman kembalinya nanti.
Melihat berbagai peristiwa penting, yang tidak dapat kami dijelaskan di sini (bukan konsumsi publik), nampaknya janji yang ditagih, akan benar-benar dibayar dengan tanpa gonjang-ganjing, huru-hara, atau kehebohan.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Hal tersebut karena Alam pun sudah memberikan tanda-tanda dukungannya, bahkan bantuan gaib dari luar Nusantara pun, saat ini (awal 2020) sudah membuktikan keberadaannya di Indonesia.
Tidak adanya huru-hara dikarenakan, para anak cucu, dibantu oleh para loyalis untuk menghalau siasat para machevelian dari timur tengah tersebut, untuk tidak jatuh lagi di lobang yang sama, meskipun para machevelian telah ber-metamorfosis dalam bentuk wadag dan siasat yang lain.
Ada baiknya, kita tetap menyimak serat tersebut untuk bahan renungan, kajian, dan sekaligus mengetahui betapa liciknya para machevelian itu.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Dengan menyebutkan sebuah Agama tertentu secara eksplisit, yang sebenarnya bukan Agama tersebut yang dimaksud, maka ini sebenarnya justru untuk mengadu domba, antara penganut-penganut Agama-agama yang ada di Nusantara.
Selanjutnya kelompok Agama Penyembah 666, tidak ingin diketahui gerakannya, atau mereka justru ingin mengakselerasi kebodohan dari kelompok-kelompok Agama yang beraliraan PENGHAFAL, dan bukan PENG-KAJI.
Sementara penganut Agama Penyembah 666 ini, menyelubungi diri mereka di dalam sebuah Agama stereotip. Mereka ibarat Buah, yang kulit dan dalamnya berbeda warna.
Terdapat bait di penghujung akhir Serat Jangka Sabdo Palon,.Tuturan inilah yang dikenal sebagai "Sabdo Palon Nagih Janji". Dimana Sabdo Palon memberitahukan tanda-tanda sosial, dan tanda-tanda Alam yang akan muncul di zaman kembalinya nanti.
Melihat berbagai peristiwa penting, yang tidak dapat kami dijelaskan di sini (bukan konsumsi publik), nampaknya janji yang ditagih, akan benar-benar dibayar dengan tanpa gonjang-ganjing, huru-hara, atau kehebohan.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Hal tersebut karena Alam pun sudah memberikan tanda-tanda dukungannya, bahkan bantuan gaib dari luar Nusantara pun, saat ini (awal 2020) sudah membuktikan keberadaannya di Indonesia.
Tidak adanya huru-hara dikarenakan, para anak cucu, dibantu oleh para loyalis untuk menghalau siasat para machevelian dari timur tengah tersebut, untuk tidak jatuh lagi di lobang yang sama, meskipun para machevelian telah ber-metamorfosis dalam bentuk wadag dan siasat yang lain.
Ada baiknya, kita tetap menyimak serat tersebut untuk bahan renungan, kajian, dan sekaligus mengetahui betapa liciknya para machevelian itu.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Selain itu ada juga tuturan dalam serat tersebut, yang konon meramalkan terjadinya huru-hara akhir zaman, yakni:
Miturut carita kuna,
wecane janma linuwih,
kang wus kocap aneng jangka,
manungsa sirna sepalih,
dene ta kang bisa urip
yekti ana saratipun,
karya nulak kang bebaya,
kalisse bebaya yekti,
ngulatana kang wineca para kuna.
(Terjemahan bebas : Menurut cerita kuno dari para leluhur yang memiliki kelebihan dalam spiritual, semua cerita yang disampaikan para leluhur telah tertulis dalam kitab Jangka. Kelak umat manusia di masa depan akan lenyap separuh dari jumlah total yang menghuni bumi. Mereka yang bisa bertahan hidup harus berusaha dan bekerja untuk menjauhkan diri sendiri dari berbagai marabahaya. Cara untuk mempertahankan diri dari prahara di masa depan adalah dengan membaca, meresapi dan menjalankan ajaran-ajaran para leluhur.)
Selain syair di atas, juga keterangan jangka Sabdo Palon yang meramalkan terjadinya letusan Gunung Semeru, yang termuat dalam pupuh Sinom, yakni :
Sanget-sangeting sangsara,
Kang tumuwuh tanah Jawi,
Sinengkalan taunira,
Lawang Sapta Ngesthi Aji,
Upami nabrang kali,
Prapteng tengah-tengahipun,
Kaline banjir bandang,
Jerone nyilepake jalmi,
Kathah sirna manungsa kathah pralaya.
(Terjemahan bebas : Sangat-sangatlah sengsara, yang timbul di Tanah Jawa, ditandai pada tahun Sembilan Tujuh Delapan Satu. Seumpama menyeberang sungai, sampai di tengah-tengahnya, sungainya banjir bandang. Dalamnya menenggelamkan manusia. Banyak manusia mati, banyak bencana.)
Bagi mereka yang mengerti caranya membaca sandi-sandi Alam, syair di atas memiliki sandi-sandi yang dapat dibaca secara gamblang.
Sementara ramalan Sabdo Palon Naya Genggong, yang sudah terjadi, yakni meletusnya Gunung Merapi pada 2010 yang lalu, hal ini terkait dengan janji Sabdo Palon Naya Genggong sebelum moksha,
Di sinilah kita dapat menghitung ramalan di atas dengan bersandar pada 500 tahun + 4 zaman.
Hitungan priode tahun (zaman) yang lazim dalam hitungan penanggalan Jawa adalah sewindu (delapan tahun). Jika demikian 4 jaman dikali 8, berarti 32 tahun, jadi isyarat meletusnya Gunung Merapi terjadi 32 tahun sesudahnya.
Di sinilah kita dapat menghitung ramalan di atas dengan bersandar pada 500 tahun + 4 zaman.
Hitungan priode tahun (zaman) yang lazim dalam hitungan penanggalan Jawa adalah sewindu (delapan tahun). Jika demikian 4 jaman dikali 8, berarti 32 tahun, jadi isyarat meletusnya Gunung Merapi terjadi 32 tahun sesudahnya.
Hardi agung-agung samya,
Huru-hara nggêgirisi,
Gumalêgêr swaranira,
Lahar wutah kanan kering,
Ambleber angêlêbi,
Nrajang wana lan desagung,
Manungsanya keh brastha,
Kêbo sapi samya gusis,
Sirna gêmpang tan wontên mangga puliha.
Gunung berapi semua,
Huru hara mengerikan,
Menggelegar suaranya,
Lahar tumpah kekanan dan kekirinya,
Menenggelamkan,
Menerjang hutan dan perkotaan,
Manusia banyak yang tewas,
Kerbau dan Sapi habis,
Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.
Memang dapat pula dikatakan bahwa Serat Jangka Jayabaya Sabda Palon merupakan sebuah karya sastra, dimana bait demi bait yang tersurat dan tersirat di dalamnya dapat dijadikan bahan kajian, jika Anda sebagai orang yang lahir, dan dibesarkan di Tanah Jawa, yang pasti juga benar-benar berdarah Jawa..
Sebagai penutup, Tim Tanah Impian melihat adanya indikator kuat yang terjadi pada tahun 2004, dimana di tempat asalnya (saat ini merupakan sebuah negara berdaulat) dari Penganut Agama Penyembah 666 tersebut, sudah terang-terangan membuat sebuah perlambangan yang menjelaskan dan menekankan keberadaannya, bahwa mereka benar-benar sebagai kelompok penyembah setan.
Gunanya ramalan adalah agar kita dapat mencarikan solusinya, bukan untuk pasrah bongkokan. (Pesan dari anak cucu Mojopahit)
Literasi Utama
Sumber : Dari berbagai sumber
Sebagai penutup, Tim Tanah Impian melihat adanya indikator kuat yang terjadi pada tahun 2004, dimana di tempat asalnya (saat ini merupakan sebuah negara berdaulat) dari Penganut Agama Penyembah 666 tersebut, sudah terang-terangan membuat sebuah perlambangan yang menjelaskan dan menekankan keberadaannya, bahwa mereka benar-benar sebagai kelompok penyembah setan.
Gunanya ramalan adalah agar kita dapat mencarikan solusinya, bukan untuk pasrah bongkokan. (Pesan dari anak cucu Mojopahit)
Literasi Utama
Sumber : Dari berbagai sumber
Foto : Istimewa
Jakarta (WWB) - Bagi para keturunan, semoga artikel ini mengingatkan keberadaan kita semua untuk tetap memiliki komitmen. Dan kini saatnya kita bangkit kembali untuk mengulangi kejayaan eyang-eyang kita.
Bacalah artikel di bawah ini, tidak hanya dengan pikiran, tetapi juga dengan hati, maka kita akan mengerti apa pesannya, dan apa yang harus kita lakukan sekarang ini, menghadapi para penghianat bangsa yang berkedok agama.
Sejak raja Majapahit VIII (Raja Kertawijaya), gelar Brawijaya mulai digunakan.
Penyandangan gelar tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi politik, untuk memperkuat kedudukan Kertawijaya sebagai keturunan langsung dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit.
Dimana secara epistemologi asal kata "bra" berarti raja, dan "wijaya" yang berarti keturunan Raden Wijaya.
Sebelum membaca "Perjalanan akhir Brawijaya V", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara
Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
- Pertama, mereka mengaburkan, menyesesatkan, dan mengacaukan Sejarah Nusantara
- Kedua, mereka memutuskan pengetahuan mengenai Leluhur Kita
- Ketiga, mereka mengarang Sejarah Baru
Pindahnya Keraton Majapahit Ke Lawu
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Perbedaan pendapat antara anak kandung (R. Patah) dan Bapak (Brawijaya V) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.
Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R. Patah tidak mau menghadap (marak sowan) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa "watu gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat.
R. Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan.
Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Para pengikut raja membangun singgasana di atas sebuah bukit kecil, sekarang disebut Candi Dukuh.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa "watu gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat.
Rajamala - Tokoh Pewayangan |
Di haluan setiap kapal terpasang replika "Rajamala" dengan mata yang tajam.
Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R. Patah.
R. Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan.
Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Para pengikut raja membangun singgasana di atas sebuah bukit kecil, sekarang disebut Candi Dukuh.
Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R. Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena R. Patah adalah anak kandungnya sendiri.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan (susuh angin).
Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan.
Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikiran yang berbunga arif dan berbuah bijaksana.
Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana.
Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin.
Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan "jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya".
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan (susuh angin).
Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan.
Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikiran yang berbunga arif dan berbuah bijaksana.
Mahkota adalah simbol manusia berbudaya (Ilustrasi) |
Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin.
Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan "jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya".
Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang "lawe" (bermakna laku gawe) menjadi bahan lurik.
Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif "modang" (bermakna ngemut kadang).
Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama.
Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll.
Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan (laku gawe) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan "Ki" (singkatan dari kihembu). Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca Negara. Nama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Di tempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/Pamungkas dengan Sabdo Palon dan Naya Genggong yang ada di dalam dirinya.
Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging.
Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana.
Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak, dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah penduduk, dan dalam gundukan tanah.
Pengging kaya akan sumber air mineral tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh masyarakat sekitar Surakarta, dan berbagai kota di Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap kebenarannya.
Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara (Brawijaya V / Pamungkas) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia, Alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan klaten.
Para brahmana menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Lawu.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Dalam pandangan Raja-raja terdahulunya, Gunung Lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif.
Para brahmana melihat bahwa Gunung Lawu telah menjadi tempat tinggal Leluhur-leluhur yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke Gunung Lawu, dan singgah pertama di Candi Menggung desa Nglurah kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan negara. Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara tinggal disekitar Candi Menggung.
Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar.
Ditemukan sebuah tempat diatas, dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu.
Tempat ini diberi nama pertapan "Pandawa Lima", sekarang dikenal sebagai pertapan "Pringgodan".
Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh.
Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar 'Panembahan', sehingga menjadi 'Ki Ageng Panembahan Kaca Negara".
Dialog terjadi antara Penguasa Lawu (disebut Eyang Lawu) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara.
Dialog ini menghasilkan kesepakatan "Dwi jalmo Ngesti Sawiji", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu.
Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi 'Sunan Lawu', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya.
Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah, atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana.
Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri.
Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura, dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan.
Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati (mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya.
Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil, atau berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil.
- Keraton Lawu yang merupakan tatanan kehidupan imateriil 'gunung'
- Sementara keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil 'segara'
Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di Candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia, maka dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu.
Dari Candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan Majapahit dalam bentuk arsitektur candi.
Pembangunan candi-candi dipimpin oleh Brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri.
Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah Candi Sukuh kemudian Candi Cetho, sebagai pengetahuan dasar tatanan kehidupan 'sangkan paraning dumadi'.
Candi Kethek, Candi baru yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, mulai digali.
Tim gabungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan struktur bentuk candi yang kemudian diberi nama Candi Kethek. (http://www.arsip.net/id/link.php?lh=BFZUDVIHCwJR)
Dari Candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan Majapahit dalam bentuk arsitektur candi.
Pembangunan candi-candi dipimpin oleh Brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri.
Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah Candi Sukuh kemudian Candi Cetho, sebagai pengetahuan dasar tatanan kehidupan 'sangkan paraning dumadi'.
Candi Kethek, Candi baru yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, mulai digali.
Tim gabungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan struktur bentuk candi yang kemudian diberi nama Candi Kethek. (http://www.arsip.net/id/link.php?lh=BFZUDVIHCwJR)
Candi Kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan Sang Balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.
Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu.
Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata (materiil) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu.
Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turunan Majapahit menikmati kembali masa keemasan Majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi Keraton Lawu
Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat, dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar Lawu, Gunung Kidul dan Pengging.
Tatanan kehidupan antara Manusia, Alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah loh jinawi, walau tinggal di perbukitan yang dingin.
Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya.
Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir, dan papan bisa dilihat secara materiil Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional.
Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang Ratu berfikir untuk kepentingan Manusia dan Alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata, dan utuh.
Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kreatifitas yang searah dengan Alam dan Sang Pencipta.
Ratu mengedepankan kepentingan manusia, Alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus.
Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi Manusia, Alam Semesta dan mahluk lain penghuni Alam Semesta. Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya.
Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta.
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam
Saya (Sapto Satrio Mulyo) kumpulkan dari berbagai sumber......
Gunanya ramalan (Sabdo Palon Naya Genggong) adalah agar kita dapat mencarikan solusinya, bukan untuk pasrah bongkokan. (Pesan dari anak cucu Mojopahit)
- http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya
- http://sasadaramk.blogspot.com/2011/08/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
Foto : Istimewa
1. Belajar _meminta_ *MAAF*.
Seringkali manusia tidak mau *MENGAKUI* _kesalahannya_, menganggap semuanya adalah _kesalahan_ orang lain, dan dirinya sendiri yang *BENAR*.
Sebenarnya, tidak bisa *mengakui* _kesalahan_ merupakan suatu *KESALAHAN.*
Kita harus bisa _meminta_ *MAAF* kepada _orang tua_, _rekan kerja_, _masyarakat_, bahkan kepada _anak-anak_ serta _musuh_ kita.
_Meminta_ *MAAF* tidak akan membuat kita *kekurangan* apapun, malahan bisa menunjukkan *kelapangan* hati kita.
Belajar _meminta_ *MAAF* adalah hal yang *BAIK* dan merupakan suatu bentuk *pelatihan* diri.
Belajar mengakui *kesalahan*, _menghargai_ orang lain, dan _memaklumi_ orang lain, barulah kita bisa *DITERIMA* oleh orang lain
2. Belajar _kelembutan_ *HATI*
_Gigi_ kita *keras*, namun _lidah_ kita *lembut*.
Saat kita menua, *gigi* akan _tanggal_, sedangkan _lidah_ kita tetap *ADA*
Jadi kita harus bisa *LEMBUT*, barulah bisa _panjang umur_.
Sifat *keras hati* malah _merugikan_ diri kita sendiri
Hati yang *lembut* merupakan *pencapaian besar* dalam hidup manusia.
Orang yang *keras kepala*, biasanya dijuluki *berhati dingin*, sifatnya *DINGIN*, atau hatinya *KERAS* seperti _besi_
Jika kita bisa _mengatur_ *NAFAS*, _mengatur_ *POSTUR TUBUH*, dan _mengatur_ *HATI* kita, ibarat kita _menenangkan_ *kuda liar* atau *monyet liar* supaya *JINAK*, maka hidup kita akan lebih *bahagia* dan *panjang umur*.
3. Belajar *menahan diri*
Dalam hidup ini, jika kita bisa *menahan* _emosi_, _badai_ dan _ombak_ pun akan *REDA*
Mundur *selangkah*, _melihat_ *langit* dan *laut* masih luas
Dengan *menahan diri*, semua *MASALAH* bisa *dibereskan*.
*Menahan diri* berarti bisa _memakai_ *kebijaksanaan* untuk _mengatur_ dan _mengubah_ *masalah BESAR* menjadi *masalah KECIL*, dan *masalah KECIL* menjadi *tiada MASALAH*
Jika kita mau *hidup* dengan *DAMAI*, kita harus bisa *menahan diri* terhadap _kebaikan_ dan _keburukan_ dunia dan _masyarakat_ serta *gosip-gosip* di masyarakat.
Bahkan kita harus bisa menerimanya
4. Belajar *BERKOMUNIKASI*
Kurangnya *KOMUNIKASI* bisa menimbulkan _gosip_, _hoax_, _perselisihan_, dan _kesalah-pahaman_.
Hal *terpenting* dalam hidup _bermasyarakat_ adalah bisa *BERKOMUNIKASI* dengan *baik*, saling _memahami_, _toleransi_, _saling membantu_, _saling menghormati_.
Kita semua adalah *saudara*, jika selalu _bertikai_ dan _miskomunikasi_, maka tidak akan bisa hidup *berdampingan* dengan *DAMAI*.
5. Belajar *MELEPAS* (tdk melekat)
Hidup kita _ibarat_ sebuah *KOPER*, yang _diangkat_ saat *perlu* dan _ditaruh_ saat *tidak perlu*.
Saat harus *MELEPAS*, jika kita malah *melekatinya*, maka seperti *mengangkat* _koper_ yang *berat* dan tidak bisa *bebas leluasa.*
Belajar *melepas* barulah kita bisa *bebas leluasa*
Sumber : Sate Jawa
Foto
matahatinews 15.22 New Google SEO Bandung, Indonesia
Seringkali manusia tidak mau *MENGAKUI* _kesalahannya_, menganggap semuanya adalah _kesalahan_ orang lain, dan dirinya sendiri yang *BENAR*.
Sebenarnya, tidak bisa *mengakui* _kesalahan_ merupakan suatu *KESALAHAN.*
Kita harus bisa _meminta_ *MAAF* kepada _orang tua_, _rekan kerja_, _masyarakat_, bahkan kepada _anak-anak_ serta _musuh_ kita.
_Meminta_ *MAAF* tidak akan membuat kita *kekurangan* apapun, malahan bisa menunjukkan *kelapangan* hati kita.
Belajar _meminta_ *MAAF* adalah hal yang *BAIK* dan merupakan suatu bentuk *pelatihan* diri.
Belajar mengakui *kesalahan*, _menghargai_ orang lain, dan _memaklumi_ orang lain, barulah kita bisa *DITERIMA* oleh orang lain
2. Belajar _kelembutan_ *HATI*
_Gigi_ kita *keras*, namun _lidah_ kita *lembut*.
Saat kita menua, *gigi* akan _tanggal_, sedangkan _lidah_ kita tetap *ADA*
Jadi kita harus bisa *LEMBUT*, barulah bisa _panjang umur_.
Sifat *keras hati* malah _merugikan_ diri kita sendiri
Hati yang *lembut* merupakan *pencapaian besar* dalam hidup manusia.
Orang yang *keras kepala*, biasanya dijuluki *berhati dingin*, sifatnya *DINGIN*, atau hatinya *KERAS* seperti _besi_
Jika kita bisa _mengatur_ *NAFAS*, _mengatur_ *POSTUR TUBUH*, dan _mengatur_ *HATI* kita, ibarat kita _menenangkan_ *kuda liar* atau *monyet liar* supaya *JINAK*, maka hidup kita akan lebih *bahagia* dan *panjang umur*.
3. Belajar *menahan diri*
Dalam hidup ini, jika kita bisa *menahan* _emosi_, _badai_ dan _ombak_ pun akan *REDA*
Mundur *selangkah*, _melihat_ *langit* dan *laut* masih luas
Dengan *menahan diri*, semua *MASALAH* bisa *dibereskan*.
*Menahan diri* berarti bisa _memakai_ *kebijaksanaan* untuk _mengatur_ dan _mengubah_ *masalah BESAR* menjadi *masalah KECIL*, dan *masalah KECIL* menjadi *tiada MASALAH*
Jika kita mau *hidup* dengan *DAMAI*, kita harus bisa *menahan diri* terhadap _kebaikan_ dan _keburukan_ dunia dan _masyarakat_ serta *gosip-gosip* di masyarakat.
Bahkan kita harus bisa menerimanya
4. Belajar *BERKOMUNIKASI*
Kurangnya *KOMUNIKASI* bisa menimbulkan _gosip_, _hoax_, _perselisihan_, dan _kesalah-pahaman_.
Hal *terpenting* dalam hidup _bermasyarakat_ adalah bisa *BERKOMUNIKASI* dengan *baik*, saling _memahami_, _toleransi_, _saling membantu_, _saling menghormati_.
Kita semua adalah *saudara*, jika selalu _bertikai_ dan _miskomunikasi_, maka tidak akan bisa hidup *berdampingan* dengan *DAMAI*.
5. Belajar *MELEPAS* (tdk melekat)
Hidup kita _ibarat_ sebuah *KOPER*, yang _diangkat_ saat *perlu* dan _ditaruh_ saat *tidak perlu*.
Saat harus *MELEPAS*, jika kita malah *melekatinya*, maka seperti *mengangkat* _koper_ yang *berat* dan tidak bisa *bebas leluasa.*
Belajar *melepas* barulah kita bisa *bebas leluasa*
Sumber : Sate Jawa
Foto
matahatinews 15.22 New Google SEO Bandung, Indonesia